Marga-Marga Arab Indonesia
Beragam Rumpun Dan Pemahaman.
Dalam masyarakat dunia Islam, apun Syiah , di Arab maupun
di luar arab, telah dikenal istilah Ahlul Bayt (sebagai
keturunan Nabi). Dengan berbagai silsilah yang valid mereka banyak yang dihormati oleh ummat Islam. Dalam sejarah Hejaz,
keturunan Nabi ini hingga abad ke-20 memegang peranan penting dalam
pemerintahan Arab bahkan setelah keruntuhan Turki. Sejak masa-masa
sebelumnya mereka ini mendapat tempat khusus dimata penduduk Hejaz. Mereka
dibaiat menjadi penguasa dan Imam serta pelindung tanah suci.
Sayyid (jamak :
Sadah) adalah gelar
kehormatan yang diberikan kepada orang-orang yang merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW melalui cucu
beliau, Hasan bin Ali
dan Husain bin Ali,
yang merupakan anak dari anak perempuan Nabi Muhammad SAW, Fatimah az-Zahra
dan menantunya Ali
bin Abi Thalib. Keturunan wanita mendapatkan gelar berupa Sayyidah,
Alawiyah, Syarifah atau Sharifah. Beberapa kalangan
muslim juga menggunakan gelar sayyid untuk orang-orang yang masih
keturunan Abu Thalib,
paman Nabi Muhammad, yaitu Abbas, serta Ja'far, Aqil dan Thalib. Gelar ini tidak sama
dengan nama yang lebih populer seperti "Sa'Ãd" atau
"Said", yang berasal dari bahasa Arab, yang
berarti bahagia. kata lain yang sering disalahpahami sebagai sayyid
adalah syahid,
istilah dalam bahasa Arab untuk seorang martir (dalam perspektif
perjuangan).
Kata Sayyid
secara harfiah berarti Tuan, kata dalam bahasa Inggris yang artinya paling mendekati
adalah Sir atau Lord. Dalam dunia Arab
sendiri. Kata ini sering ditukar dengan "Pak..", misal : Sayyid
John (Pak John). Kata yang mempunyai konsep yang sama (dengan sayyid)
adalah sidi (berasal dari bahasa Arab sayyidi) yang digunakan
di Arab bagian Barat. Alevis menggunakan seyyid
(di Turki) sebagai
penghormatan pada nama dan diletakkan sebelum nama orang-orang yang
dianggap suci di kalangan mereka. Kata lain dalam bahasa Arab yang mirip
adalah syekh dan syarif.
Keturunan dari Hasan
bin Ali yang pernah memerintah Makkah, Madinah, Iraq pada masa Kesultanan Turki Utsmaniyah dan
sekarang di Yordania,
yaitu Hasyimiyah juga menggunakan gelar Syarif. Dalam Dunia Arab istilah Syarif
digunakan oleh keturunan Hasan bin Ali,
sedangkan gelar Sayyid digunakan oleh
keturunan Husain bin
Ali.
ALIH BAHASA
Bahasa
|
Alih Bahasa
|
Digunakan di
|
Sayyid, Syekh , Sayid
|
Dunia Arab
|
|
Sayyed,
Sayed, Seyyed, Seyed
|
Iran, Azerbaijan dan
Türkistan
|
|
Seyed, Seyit, Seyyid,
Seyyed
|
Turki, Azerbaijan dan
Türkistan
|
|
Urdu, Punjabi, Bengali,
Melayu
|
Asia Selatan dan Tenggara
|
|
Lainnya
|
Saiyed, Siyyid, Syedna
|
Orang memilih alih bahasa latin berdasarkan
bahasa yang sering mereka gunakan, tidak tergantung dari tempat mereka
tinggal. Sebagai contoh imigran Muslim dari berbagai negara yang berbeda yang
tinggal di London, Britania Raya. Imigran dari Yaman menggunakan kata sayyid,
dan imigran dari Pakistan
atau India menggunakan syed. Di antara para intelektual dan sarjana
barat, kadang mereka menggunakan kata sayyid atau sayed dalam
tulisan mereka.
Indikasi Keturunan
Sayyid sering dimasukkan pada awalan nama
yang mengindikasikan dari keturunan mana mereka berasal. Jika mereka
merupakan keturunan lebih dari satu Imam Syi'ah, mereka akan menggunakan
gelar yang paling dekat.
Moyang
|
Gelar
|
Nama Keluarga/Marga
|
Gelar Persia
|
Allawi2
|
Allawi2
|
Alavi2
|
|
al-Hashimi atau al-Hassani
|
al-Hashimi atau al-Hassani
|
Hashemi, Hassani, atau
Thabathaba'i
|
|
al-Hussaini
|
al-Hussaini1
|
Hosseini
|
|
as-Sajad
|
al-Sajad
|
Sajad
|
|
Zaid bin Ali
asy-Syahid
|
az-Zaidi
|
al-Zaidi
|
Zaidi
|
al-Muhajir
|
al-Muhajir
|
Muhajir
|
|
al-Ja'fari
|
al-Ja'fari
|
Jafari
|
|
al-Mousawi
|
al-Mousawi
|
Mousavi or Kazemi
|
|
ar-Ridawi
|
al-Ridawi atau al-Radawi
|
Rezavi atau Rizvi
|
|
at-Taqawi
|
al-Taqawi
|
Taqavi
|
|
an-Naqawi
|
al-Naqawi
|
Naqavi
|
Untuk pembicara non-Arab ketika
mengalihbahasakan dari Bahasa Arab ke Bahasa Inggris, terdapat dua
pendekatan.
- 1. Anda dapat mengalihkan kata itu, huruf demi huruf, seperti "الزيدي" menjadi "a-l-z-ai-d-i".
- 2. Anda dapat mengalihkan lafal pengucapan dari kata, seperti "الزيدي" menjadi "a-z-z-ai-d-i". Ini karena tata bahasa Arab, beberapa konsonan (n, r, s, sh, t dan z) membatalkan huruf l (ل) dari kata al (ال) . Ketika anda melihat awalan an, ar, as, ash, at, az, dll... ini berarti kata ini merupakan alih bahasa dari lafal pengucapan.
- i, wi (Bahasa Arab), atau vi (Bahasa Persia) akhirannya mungkin dapat dialihbahasakan dengan akhiran Bahasa Inggris ite atau ian. Akhiran menggunakan nama, atau nama tempat, menjadi nama group dari orang yang tersambung dari tempat kelahirannya. Seperti Ahmad al-Hashimi dialihbahasakan Ahmad keturunan Hassan dan Ahmad al-Harrani seperti Ahmad dari kota Harran.
1Juga, El-Husseini, Husseini, dan Hussaini.
2Mereka yang menggunakan gelar sayyid untuk seluruh
keturunan dari Ali bin Abi Talib menggunakan Allawi atau Alavis
sebagai sayyid. Walaupun Allawi bukan keturunan dari Muhammad, mereka keturunan
dari anak Ali bin
Abi Thalib dan wanita yang dinikahinya setelah meninggalnya Fatimah az-Zahra,
seperti Ummu Banin. Mereka yang membatasi gelar sayyid hanya untuk
keturunan Muhammad melalui Fatimah az-Zahra,
tidak akan memasukkan Allawi/Alavis kedalam sayyid.
Kafaah Dalam Nasab
(Antara Ahlulbait Dan Ahlussunah)
Di forum diskusi Ba Alwi,
tema pernikahan syarifah dengan non-sayid masih dan akan tetap selalu
hangat. Terutama pihak yang menentang, akan mati-matian membela
keyakinannya itu. Di sini, saya bukan ingin memanaskan tema yang sudah
hangat, tapi ada peristiwa yang membuat saya ingin mengangkat tema kafaah
tersebut. Dulu teman saya, seorang akhwal (sebutan bagi orang
Indonesia di kalangan jammaah; jamaknya khâl yang berarti “paman
dari ibu”) tanpa basa-basi bilang ke saya kalau dia ingin (nantinya) menikah
dengan syarifah. Saya tidak bisa komentar apa-apa selain dengan jujur
menjawab tidak punya banyak kenalan syarifah apalagi saya sendiri tidak
bisa (atau tidak biasa?) jadi makcomblang.
Lalu teman saya (seorang sayid) yang
juga teman si akhwal yang tahu keinginan temannya tersebut
langsung menghubungi saya. Seperti orang yang tersambar petir, dia meminta
saran dan bantuan saya agar menasihati si akhwal untuk mengurungkan niatnya
tersebut. Saya meresponnya melalui surel
(yang cukup panjang) dan mungkin jawaban saya tidak sesuai dengan
harapannya. Karena saya heran, bagaimana seandainya ada syarifah dan
keluarganya yang mau dengan seorang non-sayid? Apa mungkin kita
menghalang-halangi sesuatu yang halal? Apakah akhwal berdosa
menikahi syarifah?
Kafaah Dalam Sejarah.
Sebelum Islam, posisi wanita bisa dikatakan
tertindas. Di zaman Arab jahiliah, wanita dianggap sangat rendah apalagi
wanita ‘ajam (non-Arab). Sedangkan di zaman Persia (jahiliah),
wanita kalangan kekaisaran dianggap sangat mulia sehingga mereka lebih
memilih menikah sedarah demi menjaga kemuliaan tersebut. Ketika Islam
datang, semua itu dirubah. Ayat-ayat yang turun mengenai pernikahan tidak
menyinggung kafaah nasab, suku atau warna kulit, tapi terkait agama
sekaligus akhlak. Sehingga Nabi saw. bersabda, “Bila ada seorang
lelaki memuaskan dalam agama dan akhlak, maka terimalah lamaran kawinnya”.
Sejarah mencatat beberapa pernikahan berikut: Zaid bin Haritsah (bekas
budak Nabi) menikah dengan Zainab binti Jahsy (bangsawan Quraisy),
Usamah bin Zaid bin Haritsah (bekas budak) menikah dengan Fatimah
binti Qais (bangsawan Quraisy) Bilal (sahabat berkebangsaan
Ethiopia) menikah dengan saudara perempuan Abdurrahman bin Auf (Quraisy).
Kafaah Dalam Fikih
Nah, dibagian fikih inilah yang menurut saya
menjadi menarik: mazhab ahlusunah (selain Maliki) menganggap pernikahan
syarifah dengan non-sayid adalah tidak sekufu (tidak setara meskipun sah),
sedangkan Syiah yang notabene mengikuti mazhab ahlulbait menyatakan
pernikahan seperti itu adalah kufu. Muhammad Hasyim Assegaf dalam bukunya yang
kontroversial memberikan uraian mengenai kafa’ah dalam fikih ahlusunah
sebagai berikut:
- Mazhab Hanafi: Kafaah adalah kesepadanan si lelaki bagi wanita dalam hal nasab, Islam, pekerjaan, kemerdekaan, keagamaan, dan harta. Kafaah berlaku bagi lelaki, tidak pada pihak perempuan. Lelaki boleh menikah dengan siapa saja.
- Mazhab Maliki: Kafaah dibagi menjadi dua; pertama, keagamaan dan kedua, bebas dari aib yang ditentukan perempuan. Kafaah dalam hal harta, kemerdekaan, nasab, dan pekerjaan, tidaklah mu’tabar (diakui). Apabila seorang lelaki rendahan menikah dengan perempuan mulia (syarifah) maka sah.
- Mazhab Syafii: Kafaah adalah nasab, agama, kemerdekaan, dan khifah (profesi). Bani Hasyim hanya kufu’ antara sesama mereka sendiri. Kafaah merupakan syarat bagi sahnya nikah bila tiada kerelaan, dan hal itu adalah hak perempuan dan walinya bersama-sama.
- Mazhab Hambali: Kafaah adalah kesamaan dalam lima hal; keagamaan, pekerjaan, kelapangan dalam harta, kemerdekaan, nasab.
Serupa dengan mazhab Maliki, mazhab Syiah
Ja’fari pun tidak mengenal kafa’ah dalam hal nasab. Disebutkan bahwa Imam
Ali bin Abi Thalib mengatakan: “Manusia itu kufu antara sesama manusia,
Arab dan ‘ajam,
Quraisy dan Bani Hasyim, bila mereka telah Islam dan beriman.” Itu
semua merupakan bahasan dalam kajian fikih.
Kafaah dalam Amanah.
Sejak lama saya berencana untuk membahas masalah
yang super sensitif ini. Namun keterbatasan kemampuan terutama dalam forum
umum, selalu mengurungkannya. Namun niat itu kali ini sudah tidak
terbendung lagi karena beberapa faktor dan peristiwa, meski ditulis tanpa
persiapan (bahkan mungkin banyak ditemukan salah ketik), dan tidak didukung
dengan sumber-sumber yang memadai. Alasan utama keraguan saya untuk
menulisnya ialah bahwa tulisan ini hanya mengulas fenomena yang sangat khas
dan tidak umum. Tanpa berpretensi melakukan justifikasi, apologi dan
pembelaan atau memojokkan salah satu pihak, izinkan saya Muhsin Labib (nama
ini sejak di Yapi tidak pernah bersanding dengan marga dan pasti tidak
diawali dengan kata sayyid, habib, syarif dan atribut-atribut sejenisnya
sebagaimana di Iran) memberikan sebuah analisis sederhana.
Kata sayyid adalah bentuk kata kerja (ism
fa’il) yang berasal dari kata baku (mashdar) ‘siyadah’ atau kata
kerja lampau ‘sada’ (dengan fathah dan alif setelah huruf sin)
berarti ‘menguasai’ dan ‘memimpin’. Karena penghargaan abadi kepada para tokoh
Ahlul-Bait itulah, setiap alawi atau yang memiliki garis keturunan yang
terbukti membimbing umat juga dipanggil dengan predikat ‘sayyid’.
Artinya, gelar ini bukanlah semata-mata pengharagaan dan pemujaan simbolik,
namun juga isyarat dan mekanisme alami untuk senantiasa mengingatkan mereka
yang merasa berasal dari garis nasab Ahlul-Bait untuk senantiasa mewakafkan
diri sebagai abdi dan pemandu umat. Sayyid sejati sangat berjiwa rakyat,
peka terhadap derita umat, dan pantang dilayani apalagi minta disanjung.
Penghormatan dan pengistimewaan umat terhadap para alawi karena kontribusi
dan pengorbanan mereka demi umat.
Dengan persepsi yang luas ini, semestinya dikotomi
dan pengangakatan isu-isu sensitif seputar kesayyidan dan ke-alawi-an tidak
perlu mendominasi ruang-ruang diskusi dan membuat kita lupa akan
agenda-agenda serta proyeksi dakwah ke depan. Pesoalan ini menjadi
memalukan dan memilukan mana kala tendensi negatif menjadi salah satu
faktor di balik pewacanaannya. Isu kesayyidan telah memakan banyak korban
dan menggerus militansi bahkan merenggangkan hubungan emosional kepada para
tokoh Ahlul-Bait apabila diungkapkan dengan diksi yang sangat dangkal dan
ambigu. Harus diakui, predikat ‘sayyid’ di kalangan komunitas Syiah di
Indonesia telah menjadi beban determinan. Bagaimana tidak, seringkali
kesalahan seseorang bisa ditimpakan atas sebuah predikat atau bahkan atas
sebuah keluarga besar dan argumentum ad hominem kerap menjadi
senjata yang sangat efektif. Bila itu terjadi, maka kesayyidan adalah
bencana karena diperlakukan sebagai dosa bersama.
Tidak sedikit generasi alawi yang bermazhab Syiah
di Indonesia yang cenderung membenci kodrat diri sendiri (baca:
kesayyidan yang diperoleh secara determinan) demi menegaskan bahwa
apabila sikap kritis alawi terhadap prilaku sesama alawi lebih menjamin
kebersihan dari b ias atau tendensi negatif yang sangat kontra-produktif.
Saya sendiri dan beberapa teman yang merasa sesak karena ‘ketiban’
kesayyidan, seperti Ali Shahab alias Ben Sohib, dan Umar Baragbah telah memulai
sebuah gerakan auto-kritik yang tidak kalah pedas dibanding dengan
orang-orang yang tidak ketiban beban ini. Apabila kita jujur dan membuka
hati kita selebar lapangan Senayan, maka kita semua –baik yang ketiban
maupun yang tidak- mesti berkesimpulan bahwa kesyiahan meniscayakan
kecintaan dan ketaatan kepada Nabi dan keluarganya serta penghormatan
kepada anak keturunannya.
Lalu mengapa isu ini masih saja mencuat ke
permukaan? Banyak faktor yang mempengaruhinya. Salah satunya adalah ragam
atarbelakang orientasi keagamaan masyarakat Indonesia, termasuk tradisi dan
pola interkasi terhadap kominitas alawi yang berimplikasi terhadap
intensitas yang beragam menyangkut persoalan kesayyidan, sebelum mengenal
mazhab Syiah. . Tradisi dan pola penghormatan, yang sebagian irasional,
terhadap alawi di kalangan sunni trasdisional seperti NU, yang memiliki
hubungan historis dan emosional dengan para pendakwah dari Yaman, sangat
berbeda dengan pola perlakuan kaum pembaharuan, seperti Muhammadiyah dan
lainnya. Dua latar belakang orientasi keagamaan yang berbeda ini akibat proses
konversi ke mazhab Syiah bertemu dalam sebuah komunitas yang masih baru di
Indonesia. Terjadilah pergesekan kecil, dari sekadar lontaran-lontaran
gurau hingga meletus menjadi isu paling kontraproduktif.
Persoalan seputar taqlid, marja’iyah dan wilayah
al-faqih juga tidak semestinya dijadikan sebagai alasan untuk berlomba
mencari kata yang paling efektif untuk merawat kebencian dan menyuburkan
rasa saling curiga. Menjadi alawi (sayyid biologis) bukanlah
pilihan. Dan karena ia bukan pilihan, maka seseorang tidak layak dicemooh,
didengki atau dijadikan sebagai alasan untuk sombong dan pongah. Tapi,
apabila ia bukan anugerah dan bintang jasa, setidaknya para non sayyid juga
tidak menjadikannya sebagai jurus mematikan setiap kali terjadi polemik. Menjadi
anugerah dan berkah, paling tidak jangan jadi bencana. Tanpa perlu panjang
lebar membahas ahlulbait dan zuriah Rasul, tanpa bermaksud membangkitkan
sikap fanatik, dan tanpa niat meminta dihormati. Sebagai dzurriyah,
seseorang harus menjaga amanah yang dimilikinya, salah satunya adalah
menjaga keberlangsungan keturunan Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlih.
Meskipun dalam hukum fikih adalah sah, tapi tentu akan lebih afdal jika
memilih yang lebih utama selain dari pada ukuran agama. Karena terkadang
pernikahan beda nasab bisa menimbulkan masalah. Misalnya pertentangan
kebudayaan di antara keluarga yang mungkin sulit untuk dipersatukan, atau
masih adanya pandangan negatif atau “celaan” dari salah satu keluarga yang
dianggap sebagai aib, dan seterusnya.
Untuk itu ada baiknya kita menengok pendapat
Imam Syafii, dari sisi mencegah hal negatif; meskipun secara fikih saya
tetap meyakini mazhab ahlulbait yang menyatakan bahwa pernikahan syarifah
dengan non-sayid adalah sekufu. Ketika dulu ada yang mengatakan kepada saya
bahwa asal-usul pernikahan satu nasab (syarifah harus dengan sayid)
adalah Syiah Persia, tentu ini tuduhan belaka. Tidak perlu terlalu fanatik
terhadap nasab, tapi sama-sama saling melihat diri sendiri. Jika ada
seorang syarifah menikah dengan akhwal, jangan cegah si akhwal
atau mencela keluarga syarifah. Tapi pertanyakan; ke mana sayid atau di
mana keutamaanya? Begitu juga dengan sayid yang menikah dengan
non-syarifah, jangan dulu cela si sayid. Ke mana syarifah yang masih
menyadari “kesyarifahannya”?
Pertama: Agama Islam untuk seluruh umat
manusia. Memang benar bahwa keturunan Nabi memiliki tanggung jawab yang
lebih besar, tapi kewajiban amar makruf dan saling mengingatkan ada di
pundak setiap muslim.
Kedua, berbicara masalah syarat nikah dan
menyebutkan bahwa di kalangan Alawiyyin
syarat nikah di tambah satu, yaitu kafaah yang tanpanya maka pernikahan
batal. Kalau membaca tulisan di awal, yang menetapkan kafaah dalam nasab
adalah ulama Ahlussunah, sedangkan ulama mazhab Ahlulbait tidak menetapkan
kafaah nasab sebagai syarat nikah.
Ketiga, bukti yang disampaikan seperti biasa
kisah tentang peminangan Sayidah Fatimah, putri Nabi saw. Bagi yang membela
kafaah nasab (dari kalangan manapun), pemilihan Nabi terhadap
Sayidina Ali dianggap karena masalah kafaah nasab. Tapi bagi saya,
pemilihan Nabi tidak mungkin “hanya karena masalah kecil”, tapi Nabi
memilih karena kualitas iman, takwa, akhlak dan kedekatan Imam Ali kepada
Allah, dibandingkan sahabat lain yang meminang. Inilah yang disebutkan
pernikahan langit (yang “dirancang” oleh Allah Swt.)
Keempat, pembicaraannya semakin melebar
dengan mengutip ayat dan hadis untuk mengajari saya tentang keutamaan
Ahlulbait, yang saya tidak ada keraguan sedikitpun tentangnya. Tapi ia
mengatakan bahwa “Sayid hanya akan akan menikah dengan Syarifah”, padahal
semua sudah tahu bahwa Imam Ali
tidak hanya menikahi wanita Bani Hasyim, Imam Husain
pun menikahi putri Persia, Imam Ali
Zainal Abidin yang menikahi seorang budak, dan seterusnya. Hal ini
menegaskan bahwa kafaah adalah agama.
Kelima, pembicaraan mengenai “nikmat dan rasa
syukur” menjadi dzuriah. Seseorang yang hanya memikirkan satu sisi hanya
akan terlena, karena tanggung jawab sebagai zuriah harus lebih diutamakan
dan saya sepakat dalam hal ini. Terakhir pembicaraan kembali tentang
keutamaan Ahlulbait, mulai dari nasab yang berlanjut dari Bunda Fatimah
as. dan seterusnya hingga mengutip riwayat keutamaan Ahlulbait yang sangat
diamini oleh para Syiah Ahlulbait. Padahal kalau ia membaca seluruh tulisan
dan komentar saya, niscaya hal itu sejalan.
rmanfaat?
Antara Ahlulbait Dan Ahlussunah.
Keturunan Nabi Muhammad SAW tidak putus…!
Bacaan tahiyatul akhir sholat “Allahumma Sholli ‘ala sayyidina Muhammad
wa ‘ala ‘ali sayyidina Muhammad. Ahlul Bait adalah orang-orang yang sah
pertalian nasabnya sampai kepada Hasyim bin Abdi Manaf (Bani Hasyim)
baik dari kalangan laki-laki (yang sering disebut dengan syarif)
atau wanita (yang sering disebut syarifah), yang beriman kepada
Rasul dan meninggal dunia dalam keadaan beriman. Sedangkan secara umum (tanpa
melihat faktor genetis) Penyebutan Ahlul bait antaralain:
1. Para istri Rasul, berdasarkan konteks Al
qur’an dalam surat Al-Ahzab: 33
2. Putra-putri Rasulullah (tidak dikhususkan pada Fatimah saja).
3. Abbas bin Abdul Muththolib dan keturunannya
4. Al Harits bin Abdul Muththolib dan keturunannya
5. Ali bin Abi Tholib dan keturunannya (tidak dikhususkan pada Al Hasan dan Al Husain saja)
6. Ja’far bin Abi Tholib dan keturunannya
7. Aqil bin Abi Tholib dan keturunannya
2. Putra-putri Rasulullah (tidak dikhususkan pada Fatimah saja).
3. Abbas bin Abdul Muththolib dan keturunannya
4. Al Harits bin Abdul Muththolib dan keturunannya
5. Ali bin Abi Tholib dan keturunannya (tidak dikhususkan pada Al Hasan dan Al Husain saja)
6. Ja’far bin Abi Tholib dan keturunannya
7. Aqil bin Abi Tholib dan keturunannya
Dalam tatanan Hejaz, mereka diberikan sebutan Syarif untuk laki-laki dan Syarifah
untuk perempuan. Sedangkan diluar Hejaz, dari beberapa golongan ada yang
memberikan gelar Sayyid dan Sayyidah, atau juga dengan sebutan Habaib dan lain sebagainya
untuk memberikan satu tanda bahwa mereka yang diberikan ini dianggap masih
memiliki kaitan darah dengan Nabi Muhammad SAW. Rabithah Alawiyah dalam artikel menyatakan bahwa menurut
Sayyid Muhammad Ahmad Al-Syathiri dalam bukunya Sirah al-Salaf Min Bani
Alawi al-Husainiyyin, para salaf kaum ‘Alawi di Hadramaut dibagi
menjadi empat tahap yang masing-masing tahap mempunyai gelar tersendiri.
Gelar yang diberikan oleh masyarakat Hadramaut kepada tokoh-tokoh besar
Alawiyin ialah:
IMAM (dari abad III H sampai abad
VII H). Tahap ini ditandai perjuangan keras Ahmad al-Muhajir dan
keluarganya untuk menghadapi kaum khariji. Menjelang akhir abad 12
keturunan Ahmad al-Muhajir tinggal beberapa orang saja. Pada tahap ini
tokoh-tokohnya adalah Imam Ahmad al-Muhajir, Imam Ubaidillah, Imam Alwi bin
Ubaidillah, Bashri, Jadid, Imam Salim bin Bashri.
SYAIKH (dari abad VII H sampai abad XI H). Tahapan ini dimulai dengan munculnya Muhammad al-Faqih al-Muqaddam yang ditandai dengan berkembangnya tasawuf, bidang perekonomian dan mulai berkembangnya jumlah keturunan al-Muhajir. Pada masa ini terdapat beberapa tokoh besar seperti Muhammad al-Faqih al-Muqaddam sendiri. Ia lahir, dibesarkan dan wafat di Tarim.
HABIB (dari pertengahan abad XI sampai abad XIV). Tahap ini ditandai dengan mulai membanjirnya hijrah kaum ‘Alawi keluar Hadramaut. Dan di antara mereka ada yang mendirikan kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya masih dapat disaksikan hingga kini, di antaranya kerajaan Alaydrus di Surrat (India), kesultanan al-Qadri di kepulauan Komoro dan Pontianak, al-Syahab di Siak dan Bafaqih di Filipina. Tokoh utama ‘Alawi masa ini adalah Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad yang mempunyai daya pikir, daya ingat dan kemampuan menghafalnya yang luar biasa, juga terdapat Habib Abdurahman bin Abdullah Bilfaqih, Habib Muhsin bin Alwi al-Saqqaf, Habib Husain bin syaikh Abu Bakar bin Salim, Habib Hasan bin Soleh al-Bahar, HabibAhmad binZein al-Habsyi.
SYAIKH (dari abad VII H sampai abad XI H). Tahapan ini dimulai dengan munculnya Muhammad al-Faqih al-Muqaddam yang ditandai dengan berkembangnya tasawuf, bidang perekonomian dan mulai berkembangnya jumlah keturunan al-Muhajir. Pada masa ini terdapat beberapa tokoh besar seperti Muhammad al-Faqih al-Muqaddam sendiri. Ia lahir, dibesarkan dan wafat di Tarim.
HABIB (dari pertengahan abad XI sampai abad XIV). Tahap ini ditandai dengan mulai membanjirnya hijrah kaum ‘Alawi keluar Hadramaut. Dan di antara mereka ada yang mendirikan kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya masih dapat disaksikan hingga kini, di antaranya kerajaan Alaydrus di Surrat (India), kesultanan al-Qadri di kepulauan Komoro dan Pontianak, al-Syahab di Siak dan Bafaqih di Filipina. Tokoh utama ‘Alawi masa ini adalah Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad yang mempunyai daya pikir, daya ingat dan kemampuan menghafalnya yang luar biasa, juga terdapat Habib Abdurahman bin Abdullah Bilfaqih, Habib Muhsin bin Alwi al-Saqqaf, Habib Husain bin syaikh Abu Bakar bin Salim, Habib Hasan bin Soleh al-Bahar, HabibAhmad binZein al-Habsyi.
SAYYID (mulai dari awal abad XIV
). Tahap ini ditandai kemunduran kecermelangan kaum ‘Alawi. Di antara
para tokoh tahap ini ialah Imam Ali bin Muhammad al-Habsyi, Imam Ahmad bin
Hasan al-Attas, Allamah Abu Bakar bin Abdurahman Syahab, Habib Muhammad bin
Thahir al-Haddad, Habib Husain bin Hamid al-Muhdhar. Sejarawan Hadramaut
Muhammad Bamuthrif mengatakan bahwa Alawiyin atau qabilah Ba’alawi dianggap
qabilah yang terbesar jumlahnya di Hadramaut dan yang paling banyak hijrah
ke Asia dan Afrika. Qabilah Alawiyin di Hadramaut dianggap orang Yaman
karena mereka tidak berkumpul kecuali di Yaman dan sebelumnya tidak
terkenal diluar Yaman. Jauh sebelum itu, yaitu pada abad-abad pertama
hijriah julukan Alawi digunakan oleh setiap orang yang bernasab kepada Imam
Ali bin Abi Thalib, baik nasab atau keturunan dalam arti yang sesungguhnya
maupun dalam arti persahabatan akrab. Kemudian sebutan itu (Alawi) hanya khusus berlaku bagi
anak cucu keturunan Imam al-Hasan dan Imam al-Husein.
Dalam perjalanan waktu berabad-abad akhirnya sebutan Alawi hanya
berlaku bagi anak cucu keturunan Imam Alwi bin Ubaidillah. Alwi adalah anak
pertama dari cucu-cucu Imam Ahmad bin Isa yang lahir di Hadramaut.
Keturunan Ahmad bin Isa yang menetap di Hadramaut ini dinamakan Alawiyin
diambil dari nama cucu beliau Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa yang
dimakamkan dikota Sumul. Kaum Arab, terutama yang beragama Islam telah
sejak berabad lamanya melakukan perniagaan dengan berbagai negara didunia,
yang selanjutnya menciptakan jalur-jalur perdagangan dan
komunitas-komunitas Arab baru diberbagai negara. Dalam berbagai sejarah
dinyatakan bahwa kaum Arab yang datang ke Indonesia merupakan koloni Arab
dari daerah sekitar Yaman dan Persia. Namun, yang dinyatakan berperan
paling penting dan ini diperlihatkan dengan jenis madhab yang ada di
Indonesia, dimungkinkan adalah dari Hadramaut. Dan orang-orang Hadramaut
ini diperkirakan telah sampai ke Indonesia semenjak abad pertengahan (abad ke-13) sesudah adanya
huru-hara di Baghdad.
Secara umum, tujuan awal kedatangan mereka adalah untuk berdagang
sekaligus berdakwah, dan kemudian berangsur-angsur mulai menetap dan
berkeluarga dengan masyarakat setempat. Dari mereka inilah kemudian muncul
banyak tokoh dakwah yang termaktub dalam team Walisongo dan banyak tokoh
dakwah islam hingga masa sekarang. Walaupun masih ada pendapat lain seperti
menyebut dari Samarkand (Asia
Tengah), Champa atau tempat lainnya, tampaknya itu semua adalah jalur
penyebaran para Mubaligh dari Hadramawt yang sebagian besarnya adalah kaum
Sayyid (Syarif). Beberapa
buktinya (no 1 dan 2) adalah
sebagian dari yang telah dikumpulkan oleh penulis Muhammad Al Baqir dalam Thariqah
Menuju Kebahagiaan:
- L.W.C Van Den Berg dalam bukunya Le Hadramawt et Les Colonies Arabes dans l’Archipel Indien (1886) mengatakan:”Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar diantara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadramaut (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (yakni kaum Sayyid Syarif Hadramaut) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”
- Dalam buku yang sama hal 192-204, Van Den Berg menulis: ”Pada abad XV, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka berketurunan pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab Hadramaut membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab mengikuti jejak nenek moyangnya." Perhatikanlah tulisan Van Den Berg ini yang spesifik menyebut abad XV, yang merupakan abad spesifik kedatangan dan / atau kelahiran sebagian besar Wali Songo di pulau Jawa. Abad XV ini jauh lebih awal dari abad XVIII yang merupakan kedatangan kaum Hadramawt gelombang berikutnya yaitu mereka yang sekarang kita kenal bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga hadramawt lainnya.
- Hingga saat ini Umat Islam di Hadramawt bermadzhab Syafi’ie sama seperti mayoritas di Ceylon, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia. Sedangkan Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah, kemudian Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) mayoritasnya bermadzhab Hanafi.
- Bahasa para pedagang Muslim yang datang ke Asia Tenggara (utamanya Malaka dan Nusantara) dinamakan bahasa Malay (Melayu) karena para pedagang dan Mubaligh yang datang di abad 14-15 sebagian besar datang dari pesisir India Barat yaitu Gujarat dan Malabar, yang mana orang-orang Malabar (sekarang termasuk negara bagian Kerala) mempunyai bahasa Malayalam, walaupun asal-usul mereka adalah keturunan dari Hadramawt mengingat kesamaan madzhab Syafi’ie yang sangat spesifik dengan pengamalan tasawuf dan penghormatan kepada Ahlul Bait. Satu kitab fiqh mazhab Syafi’ie yang sangat popular di Indonesia Fathul Muin pengarangnya bahkan Zainuddin Al Malabary (berasal dari tanah Malabar), satu kitab fiqh yang sangat unik karena juga memasukkan pendapat kaum Sufi, bukan hanya pendapat kaum Fuqaha.
- Satu bukti yang sangat akurat adalah kesamaan Madzhab Syafi'ie dengan corak tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait yang sangat kental seperti kewajiban mengadakan Mawlid, membaca Diba & Barzanji, membaca beragam Sholawat Nabi, membaca doa Nur Nubuwwah (yang juga berisi doa keutamaan tentang cucu Rasul, Hasan dan Husayn) dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di Hadramawt, Mesir, Gujarat, Malabar, Ceylon, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Pengecualian mungkin hanya terhadap kaum Kurdistan di segitiga perbatasan Iraq, Turki dan Iran, yang mana mereka juga bermadzhab Syafi’ie dengan corak Tasawuf yang sangat kuat dan mengutamakan ahlul bait (Kitab Mawlid Barzanji dan Manaqib Syekh Abdul Qadir Jilani adalah karya Ulama mereka (Syekh Ja’far Barzanji) tapi tinggal di daerah pedalaman dan pegunungan, bukan pesisir seperti lainnya. Analisis sejarah diatas menandakan agama Islam dari madzhab dan corak ini sebagian besarnya disebarkan melalui jalur pelayaran dan perdagangan dan berasal dari satu sumber yaitu Hadramawt, karena Hadramawt adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafi'ie dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan ahlul bait.
- Di abad 15 Raja-raja Jawa (yang berkerabat dengan Walisongo) seperti Raden Patah dan Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar, yang mana di abad 14 di Gujarat sudah dikenal keluarga besar Jamaluddin Akbar cucu keluarga besar Datuk Azhimat Khan (Abdullah Khan) putra Abdul Malik putra Alwi putra Muhammad Shahib Mirbath Ulama besar Hadramawt Abad 13M. Keluarga besar ini sudah sangat terkenal sebagai Mubaligh Musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara dan mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya.
Inilah kiranya ringkasan
sejarah penyebaran kaum arab di dunia, terutama di Indonesia. Termasuk juga
klasifikasi bebeapa gelar dari keturunan nabi yang dipakai oleh beberapa
golongan, serta data beberapa ratus marga arab yang ada di Indonesia. Apabila
ada kesalahan dan kekurangan, dimohon adanya koreksi dan informasi masukan
tambahan dari para pembaca, sehingga wacana ini semakin valid dan komplit.
Silahkan dianalisis secara objektif dan mendalam, semoga berguna. Amin.
Terimakasih. Keturunan Arab Hadramawt di Indonesia, seperti negara asalnya
Yaman, terdiri 2 kelompok besar yaitu kelompok Alawi (Sayyidi)
keturunan Rasul SAW (terutama melalui
jalur Husayn bin Ali) dan Qabili
yaitu kelompok diluar kaum Sayyid. Nama-nama marga/keluarga keturunan Arab
Hadramaut dan Arab lainnya yang terdapat di Indonesia, yang paling banyak
diantaranya adalah:
- Abud (Qabil) - AbdulAzis (Qabil) - Addibani (Qabil) - Afiff - Alatas (Sayyid) - Alaydrus (Sayyid) - Albar (Sayyid) - Algadrie (Sayyid) - Alhabsyi (Sayyid) - AlHamid - AlHadar - AlHadad (Sayyid) - AlJufri (Sayyid) - Alkatiri (Qabil) - Assegaff (Sayyid) - Attamimi -AlMuhazir
- Ba'asyir (Qabil) - Baaqil (Sayyid) - Bachrak (Qabil) - Badjubier (Qabil) - Bafadhal - Bahasuan (Qabil) - Baraja (Syekh) - Basyaib (Qabil) - Basyeiban (Sayyid) - Baswedan (Qabil) - Baridwan - Bawazier (Sayyid) - BinSechbubakar (Sayyid)
- Haneman
- Jamalullail (Sayyid)
- Kawileh (Qabil)
- Maula Dawileh (Sayyid) - Maula Heleh/Maula Helah (Sayyid)
- Nahdi (Qabil)
- Shahab (Sayyid) - Shihab (Sayyid) - Sungkar (Qabil)
- Thalib
- Bahafdullah (Qabil)
Nama-nama marga/keluarga keturunan Arab Hadramaut dan Arab lainnya yang
terdapat di Indonesia:
1 Al Baar
|
21 Al Aidid
|
41 Bin Hud
|
|||
2 Al Jufri
|
22 Al Fad’aq
|
42 Ba’dokh
|
|||
3 Al Jamalullail
|
23 Al Ba Faraj
|
43 Alhasni
|
|||
4 Al Junaid
|
24 Ba Faqih
|
44 Barakwan
|
|||
5 Al Bin Jindan
|
25 Al Bal Faqih
|
45 Al Mahdali
|
|||
6 Al Jailani
|
26 Al Qadri
|
46 Al Hinduan
|
|||
7 Al Hamid
|
27 Al- Kaff
|
47 Al Baiti
|
|||
8 Al Hadad
|
28 Al- Muhdhar
|
48 Bin Syuaib
|
|||
9 Al Kherid
|
29 Al Musawa
|
49 Basyaiban
|
|||
10 Al Maula Khailah
|
30 Al Mutahhar
|
||||
11 Al Maula Dawilah
|
31 Al Munawwar
|
||||
12 Al Ba Raqbah
|
32 Al Hadi
|
||||
13 Al Assegaf
|
33 Al Ba Harun
|
||||
14 Al Bin Semit
|
34 Al Hasyim
|
||||
15 Al Bin Sahal
|
35 Al Haddar
|
||||
16 Al Syihabuddin
|
36 Al Bin Yahya
|
||||
17 Al As- Safi
|
37 Bin Syekh Abubakar
|
||||
18 Al Ba Abud
|
38 Bin Thahir
|
||||
19 Al Ba Aqil
|
39 Bin Shihab
|
||||
20 Al Idrus
|
40 Bin Hafidz
|
||||
1 Abbad
|
41 Assa’di
|
81 Bakarman
|
121 Ba Sya’ib
|
161 Bin Hilabi
|
201 Bin Syirman
|
2 Abudan
|
42 Asy Syarfi
|
82 Baktir
|
122 Basyarahil
|
162 Bin Humam
|
202 Bin Tahar
|
3 Aglag
|
43 Attamimi
|
83 Baladraf
|
123 Batarfi
|
163 Bin Huwel
|
203 Bin Ta’lab
|
4 Al Abd Baqi
|
44 Attuwi
|
84 Bal Afif
|
124 Ba Tebah
|
164 Bin Ibadi
|
204 Bin Tebe
|
5 Al Ali Al Hajj
|
45 Azzagladi
|
85 Balahjam
|
125 Bathog
|
165 Bin Isa
|
205 Bin Tsabit
|
6 Al Amri
|
46 Ba Abdullah
|
86 Balasga
|
126 Ba’Tuk
|
166 Bin Jaidi
|
206 Bin Ulus
|
7 Al Amudi
|
47 Ba’asyir
|
87 Balaswad
|
127 Ba Syaiban
|
167 Bin Jobah
|
207 Bin Usman
|
8 Al As
|
48 Ba Attiiyah
|
88 Balfas
|
128 Baweel
|
168 Bin Juber
|
208 Bin Wizer
|
9 Al Bagdadi
|
49 Ba Awath
|
89 Baljun
|
129 Bayahayya
|
169 Bin Kartam
|
209 Bin Zaidi
|
10 Al Bakri
|
50 Ba Atwa
|
90 Balweel
|
130 Bayasut
|
170 Bin Kartim
|
210 Bin Zaidan
|
11 Al Barak
|
51 Babadan
|
91 Bamakundu
|
131 Bazandokh
|
171 Bin Keleb
|
211 Bin Zimah
|
12 Al Barhim
|
52 Babten
|
92 Bamasri
|
132 Bazargan
|
172 Bin Khalifa
|
212 Bin Zoo
|
13 Al Batati
|
53 Badegel
|
93 Bamatraf
|
133 Ba Zouw
|
173 Bin Khamis
|
213 Bajrei
|
14 Al Bawahab
|
54 Ba Dekuk
|
94 Bamatrus
|
134 Bazeid
|
174 Bin Kuwer
|
214 Bukra
|
15 Al Bargi
|
55 Ba’ Dib
|
95 Bamazro
|
135 Bin Abdat
|
175 Bin Mahri
|
215 Gahedan
|
16 Al Bukkar
|
56 Bafadal
|
96 Bamu’min
|
136 Bin Abd Aziz
|
176 Bin Makki
|
216 Haidrah
|
17 Al Falugah
|
57 Bafana
|
97 Bana'mah
|
137 BinAbdsamad
|
177 Bin Maretan
|
217 Hamde
|
18 Al Gadri
|
58 Bagarib
|
98 Banafe
|
138 Bin Abri
|
178 Bin Marta
|
218 Harhara
|
19 Al Hadi
|
59 Bagaramah
|
99 Banser
|
139 Bin Addar
|
179 Bin Mattasy
|
219 Hubeisy
|
20 Al Halagi
|
60 Bagges
|
100 Baraba
|
140 Bin Afif
|
180 Bin Makhfudz
|
220 Jawas
|
21 Al Hilabi
|
61 Bagoats
|
101 Baraja
|
141 Bin Ajaz
|
181 Bin Mazham
|
221 Jibran
|
22 Al Jabri
|
62 Ba
|
102 Barasy
|
142 Bin Amri
|
182 Bin Muhammad
|
222 Karamah
|
23 Al Kalali
|
63 Bahalwan
|
103 Barawas
|
143 Bin Amrun
|
183 Bin Munif
|
223 Kurbi
|
24 Al Kalilah
|
64 Baharmus
|
104 Bareyek
|
144 Bin Anus
|
184 Bin Mutahar
|
224 Magadh
|
25 Al Katiri
|
65 Bahanan
|
105 Baridwan
|
145 Bin Bisir
|
185 Bin Mutliq
|
225 Makarim
|
26 Al Khamis
|
66 Bahrok
|
106 Baruk
|
146 Bin Bugri
|
186 Bin Nahdi
|
226 Marfadi
|
27 Al Khatib
|
67 Bajruk
|
107 Basalamah
|
147 Bin Dawil
|
187 Bin Nahed
|
227 Mashabi
|
28 Al Matrif
|
68 Baksir
|
108 Basalmah
|
148 Bin Diab
|
188 Bin Nub
|
228 Mugezeh
|
29 AlMathori
|
69 Baktal
|
109 Basalim
|
149 Bin Faris
|
189 Bin On
|
229 Munabari
|
30 AlMukarom
|
70 Banaemun
|
110 Ba Sendit
|
150 Bin Gannas
|
190 Bin Qarmus
|
230 Nabhan
|
31 Al Qaiti
|
71 Baharthah
|
111 Basgefan
|
151 Bin Gasir
|
191 Bin Said
|
231 Sallum
|
32 Al Qannas
|
72 Bahfen
|
112 Bashay
|
152 Bin Ghanim
|
192 Bin Sadi
|
232 Shahabi
|
33 Al Rubaki
|
73 Bahmid
|
113 Ba’sin
|
153 Bin Ghozi
|
193 Bin Sanad
|
233 Shobun
|
34 Al Waini
|
74 Bahroh
|
114 Ba Siul
|
154 Bin Gozan
|
194 Bin Seger
|
234 Syawik
|
35 Al Yamani
|
75 Bahsen
|
115 Basmeleh
|
155 Bin Guddeh
|
195 Bin Seif
|
235 Ugbah
|
36 Ambadar
|
76 Bahweres
|
116 Basofi
|
156 Bin Guriyyib
|
196 Bin Sungkar
|
236 Ummayyer
|
37 Arfan
|
77 Baisa
|
117 Basumbul
|
157 Bin Hadzir
|
197 Bin Syahbal
|
237 Za’bal
|
38 Argubi
|
78 Bajabir
|
118 Baswedan
|
158 Bin Halabi
|
198 Bin Syaiban
|
238 Zarhum
|
39 Assaili
|
79 Bajened
|
119 Baswel
|
159 Bin Hamid
|
199 Bin Syamil
|
239 Zubaidi
|
40 Askar
|
80 Bajerei
|
120 Baswer
|
160 Bin Hana
|
200 Bin Syamlan
|
240
|
Bin Ma’tuf Bin
Suit Bin Duwais amhar syamlan faluga Bin muhammad gasir dahdah syeban.
Lanjutan Daftar Marga:
240 Bin ma’tuf 241 Bin Suit 242 Bin Duwais 243 Bin Amhar 244 Bin Syamlan 245 Bin Faluqa 246 Bin Gasir 247 Bin Dahdah 248 Bin Syeban 249 Ba Machdan 250 Baslum 251 Adumanis 252 Bin Ubair 253 Al Mubarak 254 Ba Abduh 255 Ba Mu’minah 256 Samanhudi ? |
Sayyid, Syarif, (alawi, al barr, al as- safi, al ba harun, al jufri, al ba abud, al hasyim, al jamalullail,
al ba aqil, al haddar, al junaid, al idrus, al bin yahya, al bin jindan, al aidid, bin syekh abubakar,
al jailani, al fad’aq, bin thahir, al hamid, al ba faraj, bin shihab, al hadad, ba faqih, bin hafidz, al kherid, al bal faqih, bin hud, al maula khailah,
al qadri, ba’dokh, al maula dawilah,
al- kaff, alhasni, al ba raqbah, al- muhdhar, barakwan, al assegaf, al musawa, al mahdali, al bin semit, al mutahhar, al hinduan, al bin sahal, al munawwar, al baiti, al syihabuddin,
al hadi, bin syuaib, basyaiban).
MARGA-MARGA ARAB
Marga Arab Hadramaut
(Fam Arab) merujuk kepada nama keluarga atau marga yang dipakai oleh
keturunan bangsa Arab, yang berasal dari daerah Hadramaut
di Yaman,
yang letaknya di Jazirah Arab bagian selatan. Penamaan marga sendiri
dipilih berdasarkan Qabilah, tempat asal, sejarah, kebiasaan atau sifat
serta nama nenek moyang golongan tersebut.
Berdasarkan asalnya, marga Arab Hadramaut
umumnya dapat dibagi menjadi 2 golongan; yaitu marga-marga keturunan suku
Arab Yaman
asli (merupakan keturunan Hadhramaut bin Gahtan, yang merupakan keturunan
dari Nabi Nuh) dan marga-marga suku Arab pendatang dari Persia yang
mengklaim sebagai keturunan Nabi Muhammad melalui jalur Ahmad bin Isa al-Muhajir yang hijrah ke Yaman sekitar
tahun 319 H (898 M) yang biasa disebut Alawiyyin.
Koloni Arab dari Hadramaut
diperkirakan telah datang ke Indonesia sejak abad ke-13. Sejumlah marga
yang di Hadramaut
sendiri sudah punah, misalnya seperti "Basyeiban" dan
"Haneman", di Indonesia masih dapat ditemukan. Hal ini karena
keturunan Arab Hadramaut di Indonesia
saat ini diperkirakan jumlahnya lebih besar daripada di tempat leluhurnya
sendiri.
Daftar di bawah ini memuat beberapa marga Arab Hadramaut.
Anda dapat membantu melengkapinya.
A.
B.
[sunting] C
[sunting] D
E.
F.
G.
H.
J.
K.
L.
M.
N.
S.
T.
U.
W.
Z.
Alkisah, golongan Alawiyin karena desakan
politik di persia (iran) terpaksa hijrah mencari penghidupan yang lebih
baik ke daerah Hadramaut. Disana mereka menyampaikan kepada beberapa
muqaddam (kepada suku) mengenai maksud untuk tinggal di Hadramaut dan
juga menerangkan jati diri mereka (sebagai turunan Rasulullah). Sebelum
secara resmi mereka diterima, muqaddam disaat itu mengirim utusan ke
Hejaz untuk mengecek mengenai keberadaan mereka (terutama status turunan
Rasul). Namun, setelah beberapa waktu, ada satu keluarga di Hadramout tersebut
yang langsung menerima golongan Alawiyin ini untuk tinggal tanpa menunggu
kepulangan utusan yang dikirim dan penerimaan secara resmi. Selanjutnya
keluarga ini dikenal dengan nama keluarga Bafadhal, yaitu “golongan yang
menerima”
Di bawah ini adalah daftar nama marga orang Arab
keturunan Yaman
(suku Arab Hadramaut) tanpa
pengecualian:
A (Al...)
|
|
Media Sosial Kami